• • • 5 • • •
| 05. ... Sadness
────────── · · · ✦ ✦ · · · ──────────
Ketika gadis itu sedang menikmati rintikan hujan yang semakin deras di luar sana, diam-diam ia memperhatikannya. Terus padanya bahkan nyaris tak teralihkan sedikit pun pada yang lainnya. Melamun? Mungkin saja.
"Aku tak bisa mengerti dirimu, Keiko-chan," batinnya. Ranpo masih terus memandangi Keiko.
Namun, hanya dengan memandangi lnya dan mendekat kemudian bertanya 'apa yang terjadi' padanya pun tak akan membuahkan hasil apa-apa, kecuali Ranpo memutuskan diri untuk turun tangan menggunakan cara yang merepotkan, yaitu menyelidikinya.
Keiko sudah seperti sebuah kasus rumit bagi dirinya yang bisa membaca seseorang layaknya sebuah buku. Namun, sayangnya, hal itu tak berlaku bagi seorang Keiko yang sudah seperti kasus yang harus diselesaikan tanpa kemampuan apapun.
Ranpo harus melakukannya secara manual atau kalau tidak, semua pertanyaan yang menggantung di otaknya tak akan terjawab.
Meninggalkan sesuatu yang menggantung itu pada hakikatnya tidaklah enak.
Waktu demi waktu berlalu. Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul satu. Meski begitu, langit masih dihiasi awan kelabu. Hujan deras pun masih mengguyur, sementara Keiko masih setia menatap rintikan hujan yang kian deras dengan tatapan sendu.
"Hujan itu ... Kesedihan," batinnya yang tanpa sadar menitikkan air mata. Sebelum ada orang lain yang menyadarinya, Keiko cepat-cepat mengusap kasar air matanya. Ia pun mengambil napas, kemudian menghembuskannya perlahan guna menenangkan dirinya. Hal itu seolah mengingatkan dan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja.
Ketika ia berbalik untuk kembali berhadapan dengan kertas yang terus-menerus ada di mejanya pun teralihkan dengan keadaan sekitar yang sempat sepi dan hanya Ranpolah yang tertinggal di ruangan tersebut bersamanya. Seperti biasa, sang detektif pun sibuk dengan dirinya. Namun, kali ini agak berbeda entah mengapa. Mungkin hanya perasaannya saja, pikir Keiko. Ia pun lanjut melakukan pekerjaannya.
"Aaa! Mou, aku butuh camilan!" Tiba tiba terdengar rengekan Ranpo yang membuat Keiko beralih menatapnya. Agak heran karena pria dengan sifat kekanak-kanakannya yang akut ini merengek di kala ia tenang layaknya sedang memikirkan sesuatu tadi.
"Apakah stok camilanmu habis, Ranpo-san?" tanya Keiko yang sesekali melirik pekerjaannya. Masih menatap Ranpo heran.
Ranpo yang lemas layaknya jelly pun menatap Keiko dengan bibir manyun. "Tentu saja! Kalau tidak, mana mungkin aku mengatakan bahwa aku butuh camilan," katanya yang berakhir lesu di kursinya.
Keiko terdiam. Memproses setiap kalimat Ranpo. Segera setelah memahaminya, kini berganti memikirkan jawabannya. Sebelum menjawab ucapan Ranpo, ia mengamati pria yang sedang lesu dan lemas layaknya jelly di kursinya itu. Entah kenapa terkesan lucu dan juga ... kasihan nyerempet gemas.
Sementara Ranpo masih dalam mode manyun dan lesu dikursinya itu. Sesekali melihat keluar di mana hujan perlahan mereda. Tapi, gerimis masih tetap ada. Bayangkan betapa gemasnya ia memelas untuk minta dibelikan camilan secara tidak langsung /he.
Keiko tersenyum simpul dan kemudian berdiri dari kursinya dengan helaan napas menyertainya. "Baiklah, ayo, kita beli camilan," ucapnya yang sontak membuat Ranpo menatap ke arahnya.
"Yosh! Kita berangkat!" seru Ranpo kegirangan yang kemudian main gandeng tangan Keiko dan keluar bersamanya dari kantor agensi yang sudah kosong melompong itu.
Keiko yang digandeng dan ditarik mendadak pun terkejut. "M-matte, yo, Ranpo-san!" paniknya seraya buru-buru menyamakan langkahnya dengan Ranpo. Sementara yang bersangkutan pun menolak dan terkekeh setelahnya. Membuat Keiko menghela napas pasrah.
Keiko pun keluar terlebih dahulu dan menunggu Ranpo yang katanya sedang mengambil payung.
Hujan mereda. Namun, gerimis tetap ada. Namun Keiko tak peduli. Toh hanya gerimis, pikirnya. Bahkan ada sebagian orang berlalu lalang tak mengenakan payung dan sebagian dari mereka mengenakannya. Hal itu membuat Keiko mengamati sekitarnya. Tak sengaja matanya menangkap seorang anak kecil yang berjalan bergandengan tangan dengan ibunya. Beberapa dari mereka ada yang bersama dengan ayahnya. Tentu saja, pemandangan yang tak sengaja ia lihat itu membuat sakit hatinya.
Jika saja hujan masih turun, ia bisa menangis tanpa ada yang tahu.
Keiko berdecih pelan dan kemudian mengalihkan pandangannya dari pemandangan yang tak mengenakan baginya. Namun, jauh di lubuk hati yang terdalam, pemandangan yang terngiang di benaknya merupakan suatu hal yang sangat menyakitkan.
"Ayah ... Ibu ... !" batinnya berteriak. Ia menutup matanya seolah menahan air mata yang akan terjun bebas. Namun, sesuatu yang basah dapat ia rasakan di pipinya yang perlahan membuatnya basah karenanya.
Apakah ia menangis?
Kenapa ia terus menangis?
Kapan ia akan berhenti menangis?
Sudah berapa kali ia menangis dalam sehari?
Dan pertanyaan-pertanyaan itu terus memutar di otak Keiko yang segera membuat hati serta pikirannya berantakan. Satu sisi ia tak mau menangis, namun di satu sisi lagi, hatinya terasa sakit seperti teriris dan hal itu membuat imannya goyah. Seolah memaksanya untuk menangis saja. Kesedihan yang dia rasakan teramat sangat sakit sebenarnya.
"Keiko-chan?"
Hingga suara yang tak asing dan disusul dengan sentuhan di bahunya, perlahan membuat nya tenang entah mengapa. Perlahan sesuatu yang membasahi pipinya itu tak lagi ia rasakan. Jadi, benarkah ia menangis?
To Be Continued
Story By Lady Iruma
Comments
Post a Comment